Selama beberapa tahun terakhir, aktivis dan suara kemanusiaan dan politik yang berasal dari Papua mengalami serangan digital dalam berbagai bentuk. Serangan tersebut diarahkan dengan tujuan membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat yang sebenarnya sudah dijamin oleh konstitusi Indonesia. Namun, sebagai bagian dari warga bagi aktivis HAM dan Politik dari Papua sulit terpenuhi karena pembatasan kebebasan oleh otoritas negara. Hal itu terlihat dari berbagai serangan digital yang dilakukan secara terstruktur dan masif.
Untuk memahami bentuk serangan seperti apa saja yang dialami, penulis merangkum dalam lima bagian. Berikut ini merupakan lima bentuk serangan pembatasan berekspresi yang sejauh ini sering dihadapi oleh aktivis dari Papua dari otoritas Negara di dunia maya.
- Pemutusan Akses Internet
Pemutusan Akses Internet di Papua sering terjadi ketika adanya aksi demonstrasi untuk mengekspresikan kebebasan yang dimiliki rakyat. Dalam laporan SAFEnet dengan judul "Laporan Situasi Hak-Hak Digital Indonesia Tahun 2020: Represi Digital di Tengah Pandemi" mencatat bahwa selama 2019 terjadi tiga kali pemadaman Internet sepihak pada Mei 2019 di Papua, 21 Agustus 2019, dan September 2019 di Wamena dan Jayapura. Pemutusan internet ini berkaitan dengan demo menentang tindakan rasisme pada mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Jawa Timur. Pemerintah melakukan pelambatan akses di beberapa wilayah Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua, termasuk Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Deiyai serta Kota Manokwari dan Kota Sorong.
2. Penangguhan dan Pengambilalihan Akun atau Laman
Dalam situasi demo menentang tindakan rasisme laman facebook milik Aliansi Mahasiswa Papua diambilalih sejak 29 Agustus 2019. Kemudian, akun tersebut mulai mengunggah informasi yang mendukung otoritas negara dalam berupa poster dan video pendek. Sebab itu, Aliansi Mahasiswa Papua harus membuat laman facebook baru.
Pengambilalihan ini tidak hanya terjadi pada laman organisasi tetapi juga kepada akun-akun pribadi. Salah satunya terjadi pada Aktivis dan Akademisi bernama Ester Haluk sejak Selasa, 26 April 2022. Selain itu, beberapa aktivis juga sering mengalami. Tidak tercatat baik akan insiden ini karena jarang melapor pada lembaga yang dapat menangani hal-hal yang berkaitan.
3. Pesan Palsu dan Ancaman
Menerima pesan penipuan pasti sering kita alami dari nomor yang tidak dikenal. Di Papua tidak hanya itu, pesan palsu sering diterima ketika akan dilakukan aksi demonstrasi. Pesan yang tertulis biasanya agar demonstran tidak melakukan aksi demonstrasi.
Selain itu, ada pesan juga yang berisi dukungan terhadap otoritas negara agar hak berbicara tidak terpenuhi atau mendukung program yang dilakukan dan ditawarkan Pemerintah. Sebagaimana dicatat oleh SAFEnet dalam "Analisis Pelanggaran Hak-hak Digital Triwulan I 2022" terakhir terjadi Pada Direktur LBH Papua Emanuel Gobay pada 12 Maret 2022.
Tidak hanya itu, kepada penggerak aksi atau penanggung jawab tidak jarang mereka mendapatkan pesan berisi ancaman agar tidak melakukan aksi tersebut. Pada awalnya, dilakukan melalui SMS tetapi sekarang cara yang sama dilakukan melalui Whatsapp hingga Messenger facebook. Jika pesan ancaman dirasa tidak berpengaruh, beberapa aktivis menerima panggilan dari nomor tidak dikenal dan memberikan ancaman agar apa yang mereka inginkan terjadi. Dalam hal ini agar patuh kepada mereka sehingga kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dituju tidak terpenuhi. Misalnya sebagaimana terjadi pada Juru Biara Petisi Rakyat Papua (PRP) pada 7 Mei 2022 agar tidak melakukan demonstrasi 10 Mei 2022.
4. Propaganda dengan Biaya Miliaran
Investigasi gabungan BBC dan Australian Strategic Policy Institute (ASPI) menemukan keberadaan jaringan bot dan informasi palsu dalam menyebarkan propaganda pro-pemerintah berkaitan dengan isu Papua. Hanya dalam dua bulan mereka mengungkap ratusan akun di media sosial, perusahaan, dan individu ini terkait dengan kampanye terorganisir dan berbiaya miliaran rupiah. Penelusuran atas bot ini berujung pada jaringan akun yang "tidak otentik dan diotomatisasi" yang tersebar di setidaknya lima platform, yaitu website, Facebook, Twitter, Youtube dan Instagram. Mereka mempublikasikan video berkualitas tinggi dalam bahasa Inggris dan Indonesia, dan mempublikasikan konten dalam dua bahasa.
Propaganda dilakukan dengan membuat akun-akun bot untuk menyebarkan informasi palsu dan memuat pesan yang pro-pemerintahan. BBC menemukan bahwa foto yang mereka pakai untuk profil itu bukan foto asli. Ada yang tidak memasang foto, ada foto bintang hip hop korea, aktor China atau foto orang Australia.
5. Akun atau Laman Palsu dengan Menggunakan Wajah Orang Papua
Rupanya setelah investigasi BBC dan Australian Strategic Policy Institute (ASPI) mengungkap penggunaan propaganda dengan wajah orang luar negeri, sekarang mereka beralih dengan menggunakan wajah dan nama orang Papua. Mereka menyelinap ke dalam berbagai grup di Papua. Entah group komunitas, kabupaten, maupun kedaerahan. Bahkan dalam beberapa group mereka menjadi adminnya dengan cara membuat dan mengambil alih grup di facebook maupun whatsapp.
Akun maupun laman tersebut sering menyebarkan poster yang berisi informasi palsu yang mengatasnamakan sosok tertentu. Selain itu, sering juga digunakan untuk menyebar pesan dari tokoh politik yang mendukung arah wacana Pemerintah pusat. Misalnya penyebaran poster berisi informasi DPO terhadap Jefri Wenda di Kotaraja, Jayapura. Poster tersebut sebelumnya diunggah oleh Laman Detik Papua dan kemudian dicetak dan dipajang di pinggir jalan Kotaraja, Jayapura, Papua.
Laman Detik Papua adalah salah satu dari laman lainnya yang secara sistematis menyebarkan informasi palsu dan informasi yang pro-pemerintah melalui poster di laman facebook. Tidak hanya itu, di instagram dan media lainnya pun terdapat beberapa akun yang menyebarkan informasi berkaitan.