Seiring perkembangan teknologi, beragam masalah dalam kehidupan sehari-hari, idealnya menjadi semakin dimudahkan. Namun demikian, perkembangan teknologi digital juga memiliki risiko yang dapat menganggu kehidupan penggunanya. Seperti pisau yang bisa membantu proses memotong atau melukai orang lain. Kondisi serupa berlaku untuk kita yang memilih memanfaatkan teknologi digital seperti terkoneksi dengan internet, dengan beragam layanan yang tersedia di jaringan maya. Agar kita dapat meminimalisir risiko, ada baiknya memahami prinsip-prinsip dasar keamanan digital.
1. Tidak ada jaminan 100% aman
Saat Anda memilih berkegiatan di dunia maya, kita perlu menyadari prinsip sepenuhnya aman itu sebuah utopia. Tidak ada yang namanya 100 persen aman di dunia digital. Ilustrasi sederhana, saat menggunakan layanan Peduli Lindungi semasa pandemi, baik secara sadar atau tidak, Anda menyerahkan data-data pribadi kepada penyedia layanan. Namun jika diperhatikan dan dibaca benar ketentuan dari aplikasi tersebut, ada satu klausul yang menyatakan, penyedia layanan tidak bertanggungjawab jika terjadi kebocoran data. Saat Anda menyatakan setuju, biasanya orang tidak mau membaca ketentuan secara detil karena membutuhkan aplikasi itu untuk bepergian, maka Anda sudah menyetujui jika penyedia layanan tidak dapat dikenai tuntutan hukum saat terjadi kebocoran data. Semua karena Anda sepakat dengan satu klausul di atas tadi.
2. Makin nyaman, makin tidak aman
Prinsip lainnya adalah, untuk bisa aman, Anda harus merelakan ketidaknyamanan dalam mengakses telepon seluler, laptop, hingga beragam aplikasi atau layanan di internet. Coba refleksikan kebiasaan Anda mengakses telepon seluler. Apakah kuncinya bisa dibuka dengan hanya menempelkan satu dari 10 jari? Bagaimana saat Anda tertidur dan ada teman yang iseng mencoba menempelkan satu persatu jari Anda ke telepon seluler Anda. Perlahan namun pasti, rekan Anda bisa mengakses telepon itu tanpa Anda ketahui. Ilustrasi lainnya, penggunaan jaringan WIFI di tempat umum. Karena kita tidak mau bersusah payah mengeluarkan dana untuk paket data, maka kita memanfaatkan jaringan WIFI yang tidak kita ketahui tingkat keamanannya. Bisa saja, jaringan WIFI itu dibuat oleh peretas yang punya niat jahat mengambil data dari setiap orang yang mengaksesnya. Bukan perkara sulit membuat jaringan WIFI terdeteksi serupa dengan nama jaringan di tempat umum tersebut.
3. Standar keamanan setiap orang berbeda
Penerapan keamanan digital berbeda-beda bagi setiap orang. Jurnalis yang sedang melakukan investigasi tentu tidak akan meningkatkan risiko bagi dirinya dengan menggunakan saluran komunikasi yang tidak terenkripsi. Baik itu pada aplikasi percakapan atau surat elektronik guna mengirimkan data. Ilustrasi sederhananya, seorang penyanyi atau pemain film tentu tidak akan membagikan nomor telepon pribadinya di media sosial. Mayoritas merasa nyaman jika komunikasi dengan publik diserahkan kepada manajernya.
4. Perilaku berkaitan erat dengan kerentanan digital
Satu hal yang jadi tantangan menerapkan keamanan digital adalah perilaku kita sehari-hari saat terkoneksi dengan internet. Perilaku itu terbangun dari kebiasaan. Saat sudah merasa nyaman, maka kita cenderung abai terhadap hal-hal yang berpotensi meningkatkan risiko keamanan secara digital. Banyak pengguna internet yang kerap mempergunakan layanan pengingat password pada mesin perambannya.
Kebiasaan ini muncul karena kemudahan yang ditawarkan, alih-alih kita mengingat-ingat kata kunci atau password yang berbeda-beda untuk setiap akun atau layanan. Penggunaan layanan pengingat kata kunci itu membuka risiko pihak lain mengakses beragam akun dan data pada komputer, laptop, atau ponsel kita.
Misalnya, saat kita bekerja di kantor kemudian harus ke toilet dan lupa mematikan dan mengamankan gawai kita. Kondisi ini tidak jarang membuka peluang pihak lain mengaksesnya. Hal yang paling sering terjadi adalah mengunggah status yang tidak kita harapkan di media sosial.
Kondisi ini bisa merugikan kita meski pihak yang melakukannya hanya bermaksud bercanda. Bayangkan, jika pihak lain yang mengakses akun dan data kita itu memiliki tujuan lain, misal menggunakan data kita untuk melakukan peminjaman daring. Para orang tua muda juga kerap melupakan privasi saat mengunggah kebahagiaannya mengantarkan anak ke sekolah pertama kalinya.
Saking senangnya, mereka mengunggah identitas anak, fotonya, identitas orang tua, nama sekolahnya ke media sosial. Dengan mengantongi beragam informasi dasar itu, pihak yang memiliki tujuan jahat bisa datang ke sekolah anaknya dan kemudian menjemput dengan pengantar ke sekolah bahwa mereka diminta orang tuanya yang sudah jelas nama dan alamat rumahnya.
Semoga paparan soal empat prinsip keamanan di dunia digital ini bisa jadi bahan refleksi saat Anda berkegiatan di internet.